source image: pexels/khats cassim
FAISOL.ID – Dalam ilmu ushul fiqh, terdapat berbagai sumber hukum Islam yang menjadi dasar dalam menetapkan hukum syariat. Selain sumber utama seperti Al-Qur’an, Hadis, Ijma’, dan Qiyas, terdapat beberapa sumber hukum tambahan yang masih diperdebatkan di kalangan ulama. Beberapa di antaranya adalah Istihsan, Maslahah Mursalah, ‘Urf, Istishab, Syar’u Man Qablana, dan Madzhab Shahabiy. Berikut pembahasan masing-masing sumber hukum ini.
1. Istihsan
Istihsan secara bahasa berarti “menganggap baik”. Dalam istilah ushul fiqh, istihsan adalah metode penetapan hukum dengan meninggalkan hukum qiyas yang tampak demi mengambil hukum lain yang lebih kuat berdasarkan dalil syar’i. Istihsan sering digunakan dalam kondisi di mana hukum qiyas dianggap terlalu kaku dan kurang memberikan manfaat bagi umat.
Contoh istihsan dalam hukum Islam adalah bolehnya akad salam (jual beli dengan pembayaran di muka), padahal dalam qiyas seharusnya dilarang karena ada unsur gharar (ketidakpastian). Namun, demi kemaslahatan pedagang dan konsumen, para ulama menggunakan istihsan untuk membolehkannya.
Perdebatan tentang istihsan muncul karena sebagian ulama, terutama dari mazhab Syafi’i dan Zahiri, menolak metode ini karena dianggap dapat membuka peluang untuk membuat hukum berdasarkan subjektivitas individu. Sebaliknya, mazhab Hanafi dan Maliki lebih menerima istihsan sebagai metode hukum.
2. Maslahah Mursalah
Maslahah Mursalah adalah kemaslahatan yang tidak disebutkan secara eksplisit dalam Al-Qur’an atau Hadis, tetapi tetap dijadikan dasar dalam menetapkan hukum jika memberikan manfaat bagi umat Islam.
Contoh penerapan maslahah mursalah adalah penulisan mushaf Al-Qur’an pada zaman Khalifah Utsman bin Affan. Meskipun tidak ada perintah langsung dari Nabi Muhammad ﷺ untuk mengodifikasikan Al-Qur’an dalam bentuk mushaf standar, tindakan ini dilakukan demi menjaga kemurnian Al-Qur’an.
Sebagian ulama menolak maslahah mursalah karena dianggap tidak memiliki dasar yang jelas dalam nash, sedangkan yang lain, seperti mazhab Maliki, banyak menggunakannya dalam hukum.
3. ‘Urf (Kebiasaan Masyarakat)
‘Urf adalah kebiasaan atau adat yang berkembang di suatu masyarakat dan tidak bertentangan dengan prinsip syariat Islam. Dalam hukum Islam, ‘urf dapat dijadikan dasar hukum jika tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadis.
Contoh penerapan ‘urf adalah penggunaan akad jual beli tanpa menggunakan lafaz tertentu. Dalam masyarakat tertentu, kesepakatan verbal atau tindakan tertentu sudah cukup untuk menyatakan sahnya transaksi.
Perdebatan tentang ‘urf muncul karena ada kekhawatiran bahwa kebiasaan yang bertentangan dengan syariat Islam bisa dijadikan hukum. Oleh karena itu, ulama menetapkan syarat bahwa ‘urf hanya dapat diterima jika tidak bertentangan dengan prinsip dasar Islam.
4. Istishab
Istishab adalah menetapkan keberlakuan suatu hukum yang sudah ada sebelumnya sampai ada dalil yang mengubahnya. Prinsip ini didasarkan pada asumsi bahwa hukum asal sesuatu tetap berlaku hingga ada bukti yang membatalkannya.
Contoh istishab dalam hukum Islam adalah seseorang dianggap tetap dalam keadaan suci (berwudhu) sampai ada bukti bahwa ia batal.
Ulama yang menolak istishab, seperti sebagian dari mazhab Hanafi, berpendapat bahwa metode ini tidak cukup kuat untuk menetapkan hukum dalam kasus-kasus baru.
5. Syar’u Man Qablana
Syar’u Man Qablana adalah hukum-hukum syariat yang ditetapkan bagi umat terdahulu sebelum Islam. Hukum-hukum ini dapat diterapkan dalam Islam jika tidak ada nash yang menghapus atau mengubahnya.
Contoh syar’u man qablana adalah hukum qisas (pembalasan setimpal) yang juga diterapkan dalam syariat Islam seperti dalam hukum Taurat.
Sebagian ulama menolak metode ini karena mereka berpendapat bahwa hukum Islam adalah penyempurna ajaran sebelumnya dan tidak perlu merujuk pada hukum-hukum terdahulu.
6. Madzhab Shahabiy
Madzhab Shahabiy adalah pendapat para sahabat Nabi Muhammad ﷺ dalam menetapkan hukum Islam. Sebagian ulama menganggap pendapat sahabat sebagai hujjah (dalil hukum), terutama jika tidak ada pendapat yang menentangnya.
Contoh penerapan madzhab shahabiy adalah pendapat Umar bin Khattab tentang pembatasan jumlah talak tiga dalam satu majelis sebagai talak yang sah.
Perbedaan pendapat muncul karena ada ulama yang berpendapat bahwa pendapat sahabat bukanlah sumber hukum utama, melainkan hanya sebagai ijtihad pribadi yang bisa dikoreksi oleh generasi setelahnya.
Kesimpulan
Sumber-sumber hukum Islam yang diperdebatkan ini menunjukkan bahwa fiqh Islam adalah bidang yang dinamis dan fleksibel. Perbedaan pendapat di antara ulama mencerminkan upaya mereka dalam memahami dan menerapkan hukum Islam sesuai dengan kondisi masyarakat. Meskipun tidak semua sumber hukum ini diterima oleh seluruh mazhab, keberadaannya tetap berperan dalam perkembangan hukum Islam sepanjang sejarah.