Dalam kehidupan sehari-hari, kita seringkali mendengar ungkapan “uang bukanlah segalanya”. Kalimat klise ini seringkali diucapkan untuk menegaskan bahwa ada hal-hal lain yang lebih penting dalam hidup, seperti cinta, kebahagiaan, kesehatan, dan hubungan sosial.
Namun, meskipun uang bukanlah segalanya, kita tidak bisa lari dari realita bahwa faktanya, hampir semua aspek kehidupan membutuhkan uang. Tanpa uang, banyak kebutuhan dasar manusia yang tidak dapat terpenuhi, dan ini membuat peran uang menjadi sangat sentral dalam kehidupan manusia modern. Ibarat kata, “ke toilet pun harus bayar“.
Uang, mulanya merupakan alat tukar yang mempermudah manusia dalam melakukan transaksi. Seiring berjalannya waktu, ia kemudian berkembang menjadi simbol kekayaan, status, dan kekuasaan.
Pada titik ini, uang tidak hanya berfungsi sebagai alat tukar, melainkan juga menjadi alat ukur keberhasilan dan kebahagiaan dalam masyarakat. Banyak orang yang kemudian berasumsi bahwa dengan memiliki banyak uang, mereka bisa mendapatkan apa saja yang mereka inginkan, termasuk kebahagiaan. Namun, benarkah demikian?
Uang dan Kebutuhan Dasar
Ketika berbicara mengenai realita, aku tidak menampik bahwa uang memegang peranan yang sangat vital dalam pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Mulai dari sandang, pangan, dan papan adalah kebutuhan pokok yang tidak dapat dipenuhi tanpa uang.
Makanan yang kita konsumsi setiap hari misalnya, atau pakaian yang kita kenakan, dan tempat tinggal yang kita huni, semuanya memerlukan uang untuk mendapatkannya. Tanpa uang, sulit untuk membayangkan bagaimana seseorang bisa hidup layak dan sehat. “Ya, kalau bisa bayar pakai dedaunan gapapa,” celetuk ayahku dengan jokesala bapak-bapak pada umumnya.
Tidak hanya kebutuhan dasar, akses terhadap pendidikan dan layanan kesehatan yang baik pun sangat bergantung pada ketersediaan uang. Di banyak negara, pendidikan yang berkualitas bahkan seringkali membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Hal ini juga berlaku dalam layanan kesehatan, dimana selalu saja berhubungan dengan uang jika ingin mendapatkan fasilitas medis yang memadai. Lantas, dalam konteks ini, masihkah relevan frasa “uang bukanlah segalanya“?
Benarkah Uang Bisa Membeli Kebahagiaan?
Ini merupakan pertanyaan yang tak pernah habis diperdebatkan. Sebagian orang percaya bahwa uang dapat memberikan kebahagiaan, karena dengan uang, seseorang bisa membeli barang-barang mewah, bepergian ke tempat-tempat indah, dan menikmati berbagai kenyamanan hidup. Uang juga bisa memberikan rasa aman, karena dengan uang, seseorang tidak perlu khawatir tentang masa depan atau ketakutan menghadapi krisis finansial di hari tua.
Namun, ketika ditelisik lebih jauh, kebahagiaan yang dihasilkan dari uang seringkali bersifat sementara. Sebuah studi menunjukkan bahwa setelah kebutuhan dasar terpenuhi, peningkatan jumlah uang tidak selalu sejalan dengan peningkatan kebahagiaan.
Orang yang sangat kaya mungkin bisa membeli apa saja yang mereka inginkan, tetapi itu tidak menjamin mereka akan merasa lebih bahagia daripada orang yang hidup sederhana. Justru, kebahagiaan sejati seringkali ditemukan dalam hal-hal yang tidak dapat dibeli dengan uang, seperti hubungan keluarga yang harmonis, persahabatan yang tulus, maupun rasa cinta yang mendalam.
Di sisi lain, ada juga pandangan yang menyatakan bahwa terlalu fokus pada uang dapat mengikis nilai-nilai moral dan kemanusiaan. Ketika uang menjadi tujuan utama, orang mungkin cenderung mengabaikan etika dan norma-norma sosial demi mencapai kekayaan.
Kita ambil contoh, kasus-kasus di mana orang rela menghalalkan segala cara untuk mendapatkan uang, termasuk melakukan korupsi, penipuan, atau tindakan kriminal lainnya. Ketika uang menjadi segala-galanya, nilai-nilai seperti kejujuran, integritas, dan empati seringkali diabaikan.
Ditambah lagi menjamurnya gaya hidup konsumtif pada masyarakat modern, dimana keberhasilan seseorang diukur dari seberapa banyak uang yang mereka miliki dan seberapa banyak barang mewah yang mereka dapatkan. Rasanya semua orang makin kesini, makin gila uang. Belum lagi kehadiran media sosial yang menjadi “bencana sosial” baru dengan menampilkan kehidupan glamor influencerkenamaan.
Akibatnya, banyak orang yang merasa tertekan untuk terus mengejar uang dan barang-barang material demi memenuhi standar yang ditetapkan oleh masyarakat.
Padahal, gaya hidup seperti ini sering kali mengarah pada ketidakpuasan dan kecemasan. Ketika seseorang terus-menerus membandingkan dirinya dengan orang lain yang lebih kaya atau lebih sukses, mereka mungkin merasa bahwa apa yang mereka miliki tidak pernah cukup.
Hal ini bisa memicu rasa iri, stres, dan ketidakbahagiaan, bahkan meskipun secara finansial sudah cukup mapan. Ini menunjukkan bahwa uang dan barang-barang material tidak selalu memberikan kebahagiaan yang sejati. Aku pribadi justru lebih setuju dengan konsep “cukup” dalam menyikapi tema kali ini. Dimana konsep sederhana ini dapat menyelamatkan kita dari hedonisme duniawi yang mencekik kita akhir-akhir ini.
Konsep “Cukup”, Cara Menyelamatkan Manusia dari Hedonisme Dunia
Ya, konsepsi ini sering diajarkan oleh guru-guruku, bahwa sejatinya, segala hal, baik yang berupa materialistik maupun yang bersifat metafisik, dapat dipenuhi dengan satu kata, “cukup”. Penggeseran kata ini ternyata sangat ajaib mengubah pola pikir banyak orang, termasuk aku pribadi. Cukup kaya, cukup bahagia, intinya cukup.
Perasaan cukup akan menjadi pembatas bagi diri kita untuk berbuat melampaui yang semestinya. Ada hal yang membuat kita terjaga dari sifat keburukan dan ketamakan.
Pada intinya, uang haruslah ditempatkan selayaknya, sebagai sarana manusia untuk melangsungkan kehidupan. Jika difungsikan sebagai parameter kehidupan, atau bahkan dijadikan sebagai tujuan akhir hidup, ia justru akan menjadi bumerang yang siap menelan tuannya dalam keserakahan.
Artikel ini adalah bagian dari latihan komunitas LFI supported by BRI