Mengenal Konsep Cinta Platonik, Cinta Paling Tulus

cinta platonik

FAISOL.ID – Sebagai suatu realitas, sangat naif bilamana manusia mengatakan dapat hidup tanpa cinta. Itu hanyalah ungkapan semu yang dilontarkan tanpa alasan. Manusia, dalam fitrahnya dianugerahi perasaan yang beragam, termasuk salah satunya cinta.

Namun, bagaimana jika cinta itu tak dapat kita gapai secara utuh? Apa yang akan terjadi pada diri kita?

Ini akan menghabiskan seluruh waktu yang aku miliki untuk mengupas tentang hakikat cinta, perjalananku, hingga bagaimana aku bisa mempelajari banyak hal.

Semua karena cinta. Dalam pandanganku, cinta adalah perasaan absurd yang kuat dan sangat multitafsir. Bahkan, pengalaman cinta satu orang dengan orang lainnya, akan menimbulkan makna yang berbeda pula.

Lebih khususnya, aku akan mengupas secara khusus dan mendalam mengenai cinta platonik, suatu konsep cinta paling tulus, dan hubungan emosional tak bersyarat yang dikemukakan oleh Plato.

Konsep “Cinta Platonik”

Plato, dalam pandangannya, mengemukakan bahwa “cinta merupakan motivasi yang mampu menuntun seseorang untuk memahami dan merenungkan keindahan itu sendiri”. Tulis Luis Ospino dalam artikelnya yang berjudul: Platonic Love: The Concept of the Greek Philosopher Plato, dipublikasikan pada 24 November 2021.

Menariknya, dalam Simposium di rumah penyair Agathon, Plato mengemukakan pandangannya mengenai konsep cinta platonik ini. (Simposium sendiri adalah penjamuan, dimana orang-orang Yunani berkumpul untuk merayakan, serta mendiskusikan ide-ide mereka). Beberapa orang paling penting seperti Socrates, Aristophanes, Alcibiades, dan Pausanias hadir dalam simposium tersebut.

Kemudian mereka berdebat filosofis mengenai sifat hakikat cinta, dan masing-masing memberikan argumennya. Termasuk Plato. Dalam Simposium di Yunani, ia menjelaskan filsafat cintanya yang disatukan dalam Alegori Plato. Ia menyebutnya cinta platonik.

Menurut Plato, cinta bukanlah akhir dari suatu tujuan, melainkan sarana dalam mencapai konsep keindahan tertinggi. Sehingga, ia beranggapan, bahwa keindahan yang hakiki tidak hanya ditangkap oleh indra manusia saja, melainkan yang dapat dirasakan oleh jiwa yang mengalaminya. Tujuan akhir dari cinta platonik adalah menggapai keindahan dalam jiwa, yakni cinta yang tak melulu soal nafsu dan birahi.

Cinta ini biasanya ditemukan dalam persahabatan, hubungan saudara, keluarga, sehingga ketulusan dari hati-lah yang membuat cinta itu menjadi abadi, karena cinta platonik adalah cinta yang langsung terhubung dari hati, dengan tanpa mengikutsertakan nafsu birahi. Hakiki!

BACA  Profesi Advokat Sebagai Officium Nobile

Bagaimana Islam Memandang Cinta Platonik?

Selain secara filosofis, aku juga berupaya mencari tentang konsep cinta platonik dalam islam. Di dalam Islam, pandangan mengenai konsep cinta platonik adalah konsep cinta yang berdasarkan keikhlasan dan atas dasar non-birahi.

Artinya, keberadaan cinta dianggap sebagai suatu esensi yang tinggi karena di dalamnya mengandung nilai-nilai ketulusan dalam mencintai.

Lebih jauh lagi, spiritualitas keislaman menjadi salah satu hal yang melatar-belakangi cinta platonik. Artinya, kita diajarkan untuk mencintai manusia “karena Allah”.

Bahkan, di dalam Hadits, orang yang saling mencintai karena Allah, akan mendapatkan naungan kelak di saat tiada naungan kecuali naungan-Nya, salah satunya 2 orang yang saling mencintai karena Allah. Berikut haditsnya:

Dari Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَ عَنْ أبِي هُرَ يْرَةَ رَ ضِيَي االلهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ : سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمْ الله فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لاَ ِظلَّ ِإلاَّ ِظلَّهُ : ِإمَامٌُ عَا ِدلٌ، وَشَا بٌّ نَشَأ ِفي عِبَا دَةِ اللهِ تعلى، وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي المَسَاجِدِ، وَرَجُلاَنِ تَحَابَّا فِي اللهِ، اِجْتَمَعَا عَلَيْهِ، وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ، وَرَجُلٌ دَعَتْهُ اِمْرَأةٌ ذَاتُ مَنْصَبٍ وَ جَمَالٍ، فَقَاَلَ: إِنِّي َأخَافُ اللهَ، وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَهٍ، فَأخْفَاهَا حَتَّى لاَ تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِيْنُهُ، وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ (متفق عليه)

Ada tujuh golongan yang Allah Azza wa Jalla akan naungi mereka pada hari kiamat, pada hari yang tidak ada naungan kecuali naunganNya; imam yang adil, pemuda yang tumbuh diatas ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla, seorang laki-laki yang hatinya selalu bergantung di masjid, dua orang yang saling mencintai karena Allah (berkumpul karena Allah, juga berpisah karena Allah), seorang lelaki yang dipanggil oleh seorang wanita cantik dan mempunyai kedudukan, untuk melakukan perbuatan keji kemudian ia mengatakan; “sesungguhnya aku takut kepada Allah”, seseorang yang bersedekah dengan satu sedekah yang ia sembunyikan sampai tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya, dan yang terakhir adalah seseorang yang berdzikir -mengingat Allah subhanallahu wa ta’ala- dalam keadaan sendiri kemudian kedua air matanya mengalir.” (H.R. Bukhari dan Muslim)

BACA  Uang Bukan Segalanya, Tapi Segalanya Butuh Uang

Hal itu jugalah yang melatarbelakangi pencarianku mengenai sosok “kakak/abang” selama ini. Karena secara falsafi, aku menghendaki seorang abang yang dapat saling menyayangi, memberi support satu sama lain, dengan ketulusan tanpa syarat. Ingin sekali rasanya.

Mengapa Aku Membutuhkan Seorang “Abang”?

Hidup memberiku banyak pelajaran. Terkadang, kesendirian membuatku tenang, aku bisa lebih fokus untuk belajar, mencari ilmu, dan melakukan hal positif lainnya.

Namun, secara kontradiktif, di waktu yang bersamaan, aku masih memiliki sifat manusiawi yang ingin sekali mendapatkan atensi, kasih sayang, dan terkadang memang aku hanya ingin memiliki seseorang yang tulus mencintaiku dengan “cinta platonik”.

Mengapa harus seorang abang? Tak ada alasan selain karena seorang abang sifatnya mengayomi dan menyayangi, sehingga mungkin sesuai dengan kepribadianku yang seperti ini.

Dan secara kacamata spiritual, aku juga menaruh harapan agar cinta yang kita bangun, dapat menyelamatkan kita di dunia dan akhirat, bahkan dapat kekal hingga hari akhir, karena ketulusan ini. Aku berharap suatu saat seperti itu.

Seperti yang telah dijelaskan, aku memiliki pijakan tentang bagaimana aku berperilaku dan berpikir, tentu dengan harapan, jika nanti suatu saat Allah memberiku abang, semoga abang yang baik, yang dapat saling mencintai di jalan-Nya, itulah yang aku harapkan. Entah di zaman seperti ini, masih adakah (?)

Tulisan ini aku tulis khusus kepada diriku sendiri, bahwa sebenarnya masih banyak orang yang menyayangiku di luar sana, biarkan cinta bekerja sebagaimana mestinya. Melalui cinta platonik, cinta paling tulus dari seorang manusia. Ya, cinta tanpa “tetapi” dan “karena”.

By Faisol Abrori

Tertarik menulis beragam hal seperti bisnis, teknik marketing, dan lain sebagainya. Untuk keperluan kerja sama, kirim email ke: faisolabrori5@gmail.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *