Sebagai seseorang yang pernah nyantri, saya akrab dengan satu ungkapan yang sering terlontar setiap kali ada santri baru terkena gudik, “Namanya juga santri, belum afdal kalau belum kena gudik (skabies).” Kalimat itu diucapkan setengah bercanda, baik oleh para senior maupun wali santri yang datang menjenguk anaknya.
Namun di balik gurauan itu tersimpan kenyataan pahit, bahwa gudik alias skabies seolah menjadi “ritual perkenalan” tak resmi di banyak pesantren. Gatal, luka, dan bekas merah di kulit menjadi simbol bahwa mereka benar-benar telah menjadi bagian dari kehidupan asrama.
Di balik kehangatan hidup komunal dan semangat gotong royong para santri, tersembunyi persoalan klasik yang jarang dibicarakan, yakni kerentanan terhadap penyakit menular.
Saya memahami betul, kebiasaan di Pesantren merupakan salah satu penyebabnya. Hidup bersama dalam ruang terbatas, berbagi perlengkapan tidur, hingga bergantian memakai sarung atau handuk, membuat penyebaran penyakit seperti skabies seakan tak terelakkan.
Hal ini juga yang turut menggerakkan hati seorang Mohammad Afifi Romadhoni untuk mendirikan Gerakan Pesantren Sehat (GPS) yang pertama kali diinisiasi pada 2017 silam. Tujuannya sederhana, untuk menciptakan lingkungan pesantren yang lebih bersih, sehat, dan layak huni. Cita-cita yang mungkin terdengar kecil, namun berarti bagi kesehatan ribuan santri yang tinggal di lingkungan asrama.
Si Dokter Pesantren Di Balik Lahirnya Gerakan Pesantren Sehat (GPS)

Afif, namanya harum ketika berbicara mengenai isu kesehatan di lingkungan pesantren. Mungkin sebagian orang merasa acuh-tak acuh ketika diminta terlibat dalam upaya peningkatan kesadaran menyoal isu kesehatan semacam ini. Namun, dokter muda yang satu ini berbeda. Ia memiliki semangat yang tak kunjung padam dalam mengadvokasi para santri tentang bagaimana cara bertanggungjawab atas diri dan kebersihan pesantren.
Seperti yang kita ketahui bersama, pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan tertua yang ada di nusantara, jauh sebelum kemunculan pendidikan formal. Lembaga ini bahkan tetap eksis hingga sekarang, sebagai tempat yang tidak hanya mencetak akademisi, namun juga pemimpin yang berbudi pekerti luhur.
Sebagai seseorang yang turut lahir dari rahim pesantren, ia bahkan hapal betul seluk-beluk dunia pesantren. Bagaimana tidak, Afif sudah nyantri sejak di bangku Madrasah ibtidaiyah (MI) hingga Madrasah Tsanawiyah (Mts). Sudah tentu banyak pahit manis yang ia rasakan selama itu. Mulai dari berbagi tempat tidur dengan 11 kawan seasramanya, hingga peralatan pribadi seperti handuk dan pasta gigi pun sudah dilaluinya.
Pengalaman inilah yang membuka cakrawalanya dan membuatnya bertekad menebar awareness di pesantren. ”Lewat gerakan ini, aku hanya ingin teman-teman di pesantren lebih memperhatikan kesehatan dan kebersihan diri. Mereka, kan, calon dai. Jadi, sayang banget kalau jorok,” pungkasnya.
Gerakan Pesantren Sehat mengedukasi santri secara langsung terkait kesehatan dan kebersihan lingkungan pesantren. Dimulai dari pelatihan dasar seperti cara mencuci tangan yang benar, sampai menjaga kebersihan asrama tempat mereka istirahat.
Kini, Gerakan Pesantren Sehat (GPS) telah tumbuh menjadi gerakan sosial yang inovatif dengan 11 program unggulan yang menyentuh berbagai aspek kehidupan santri. Program utamanya, Sharing Class, menjadi ruang berbagi ilmu tentang perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), kesehatan reproduksi, hingga kesehatan mental—isu yang selama ini kerap luput dari perhatian di lingkungan pesantren.
Tak berhenti di sana, Afifi dan tim juga melahirkan Doktren (Dokter Pesantren), program pelatihan bagi santri agar mampu menjadi agen kesehatan di lingkungan mereka sendiri. Sementara melalui Cerita Santri, GPS membuka ruang aman bagi para santri untuk berbicara tentang hal-hal sensitif seperti perundungan dan pelecehan, sekaligus membangun kesadaran akan pentingnya kesehatan mental.
Di sisi lain, GPS juga menjalankan berbagai kampanye kreatif yang membumi. Ada Patok (Pesantren Anti Asap Rokok) untuk mengedukasi bahaya rokok, Book4Santri yang mengumpulkan buku bekas agar santri lebih dekat dengan literasi, hingga program Kasih Sayang yang mengingatkan pentingnya kebersihan perlengkapan ibadah seperti mukena, sarung, dan sajadah.
Jadi Salah Satu Penerima SATU Indonesia Awards 2019
Kegigihan Mohammad Afifi Romadhoni dalam menebar semangat hidup bersih di pesantren berbuah manis. Tahun 2019, ia dinobatkan sebagai salah satu penerima SATU Indonesia Awards dari Astra, sebuah penghargaan bergengsi yang diberikan kepada anak muda inspiratif di berbagai bidang.
Melalui Gerakan Pesantren Sehat (GPS), Afif membuktikan bahwa perubahan besar bisa berawal dari tempat yang sering dianggap sederhana: pesantren. Ia menanamkan nilai bahwa sehat adalah bagian dari tanggungjawab terhadap lingkungan. Apa yang dilakukannya bukan sekadar kampanye, melainkan bentuk dakwah yang membumi—mengubah perilaku lewat keteladanan dan kedekatan hati dengan para santri.
Penghargaan itu bukan akhir perjalanan, melainkan titik tolak baru bagi Afif dan para relawan GPS. Ia berusaha menyatukan gerak, untuk terus memberikan dampak yang nyata bagi para santri.
#APA2025-BLOGSPEDIA
#SatukanGerakTerusBerdampak #KitaSATUIndonesia

