Foto oleh Alena Darmel: https://www.pexels.com/id-id/foto/tangan-gadis-perempuan-cewek-8164742/
FAISOL.ID – Dalam bayangan ideal masyarakat, kaum relijius selama ini diharapkan menjadi penopang moral, suara nurani publik, bak pelita yang menjaga nilai-nilai kebaikan agar tetap menyala di tengah gelapnya zaman.
Mereka yang memilih jalan hidup berbasis keimanan dianggap memiliki tanggung jawab moral lebih untuk berdiri tegak di saat banyak yang memilih tunduk, dan bersuara jujur saat mayoritas memilih diam.
Namun kenyataan hari ini jauh lebih memprihatinkan. Keberadaan kaum relijius seolah semakin mengecil, bukan karena jumlah mereka menurun, tetapi karena peran dan pengaruhnya yang perlahan memudar di tengah kebisingan dunia.
Kita hidup di era di mana suara lantang kerap diukur dari jumlah pengikut media sosial, bukan dari kualitas keteladanan. Tokoh-tokoh keagamaan tak lagi menjadi sumber utama rujukan moral, tergantikan oleh selebritas spiritual instan yang berbicara lantang namun seringkali kosong substansi.
Popularitas menggeser integritas, dan yang viral lebih dipercaya daripada yang benar-benar bijak. Dalam atmosfer semacam ini, kaum relijius yang menolak tunduk pada arus pasar informasi justru tampak asing, bahkan dianggap ketinggalan zaman.
Bukan berarti kaum relijius tidak lagi ada. Mereka masih hadir, masih berdoa, mengajar, menyampaikan dakwah atau khutbah dengan setia. Tapi pengaruh mereka perlahan tergerus oleh dua arus besar: pragmatisme dan politisasi.
Di satu sisi, masyarakat semakin tertantang untuk mencapai hasil instan. Mereka tidak lagi bersabar mendengarkan wejangan panjang tentang kejujuran, kesederhanaan, atau pengorbanan. Nilai-nilai spiritual pun dianggap terlalu lambat untuk menjawab problem praktis hidup yang semakin kompleks dan kompetitif.
Di sisi lain, ketika sebagian kaum relijius justru merapat ke lingkaran kekuasaan, suara mereka menjadi bias, kehilangan independensi moral. Ucapan mereka tidak lagi menggugah, karena publik curiga bahwa itu sekadar perpanjangan suara elite.
Yang lebih menyedihkan, dalam sejumlah kasus, kaum relijius malah ikut terlibat dalam praktik yang justru bertentangan dengan nilai-nilai iman yang mereka bawa. Korupsi berbasis lembaga agama, pelecehan seksual yang disembunyikan di balik jubah, hingga manipulasi massa untuk kepentingan politik elektoral—semua itu menghantam kepercayaan publik terhadap kesucian simbol dan sosok keagamaan.
Maka tak heran jika banyak orang muda mulai sinis terhadap agama, bukan karena mereka anti iman, tetapi karena merasa dikhianati oleh para penjaganya.
Refleksi ini bukan untuk menyalahkan siapapun, melainkan untuk menjadi pengingat bagi nurani kita masing-masing. Masyarakat yang sehat membutuhkan sosok relijius yang tidak hanya taat dalam ritual, tetapi juga kokoh dalam menjaga nilai kebenaran.
Sosok-sosok spiritual yang tidak mudah tergoda oleh pujian maupun tekanan kekuasaan. Mereka yang mampu menjadi jembatan antara teks suci dan realitas yang terus berubah, tanpa harus mengorbankan integritas dan kebijaksanaan.
Tentu, menjadi relijius di tengah dunia yang serba tergesa dan gaduh seperti sekarang bukan perkara mudah. Godaan untuk menjadi populer, mapan, atau untuk mengambil jalan pintas sangat besar.
Tapi justru di situlah urgensi kaum relijius sejati, hadir bukan untuk mengikuti arus, melainkan untuk menjadi kompas yang menuntun arah. Mereka bukan hanya pengingat bahwa hidup ini lebih dari sekadar materi dan status sosial, tetapi juga penegas bahwa nilai-nilai spiritual tidak pernah kehilangan relevansinya, justru ketika dunia mulai kehilangan akarnya.
Mungkin sudah saatnya kita meninjau ulang apa arti menjadi relijius hari ini. Apakah cukup dengan simbol dan atribut? Atau harus kembali pada inti: kejujuran, keberanian moral, kasih sayang, dan kerendahan hati?
Masyarakat menantikan sosok-sosok yang bukan hanya bicara tentang surga dan neraka, tetapi juga berjalan bersama mereka di jalan yang sempit, berdebu, dan kadang penuh luka.
Kaum relijius tidak boleh tergerus, karena jika mereka hilang, bukan hanya moral publik yang runtuh, tetapi juga harapan bahwa dunia masih bisa dibangun atas dasar nilai, pun ikut pupus.
Refleksi ini bukan sebuah ratapan, melainkan ajakan: untuk bangkit, bersih, dan kembali menjadi suara hati yang tulus—bukan demi kekuasaan, tapi demi kemanusiaan.