Oleh: Faisol Abrori
FAISOL.ID – Laut bukan sekadar hamparan biru yang menenangkan mata. Ia termasuk pengatur iklim, sumber pangan, serta ruang hidup bagi jutaan spesies. Namun, di balik keindahannya, laut kini tengah menjerit. Pencemaran yang terus meningkat — dari plastik, limbah industri, hingga tumpahan minyak — telah mengubah lautan dari simbol kehidupan menjadi ladang ancaman yang nyata.
Sebagai negara kepulauan dengan garis pantai lebih dari 80 ribu kilometer, Indonesia seharusnya menjadi garda terdepan dalam menjaga laut. Ironisnya, kita justru termasuk penyumbang limbah plastik ke laut terbesar di dunia. Kondisi ini bukan sekadar persoalan lingkungan, melainkan juga persoalan moral dan eksistensi manusia.
Wajah Laut Masa Kini
Setiap tahun, jutaan ton sampah plastik mengalir dari daratan menuju laut. Botol air mineral, kantong belanja, hingga microplastik dari produk kecantikan terombang-ambing di permukaan dan dasar laut. Data dari United Nations Environment Programme (UNEP) mencatat bahwa lebih dari 8 juta ton plastik masuk ke laut setiap tahun. Dari jumlah itu, sebagian besar berasal dari aktivitas manusia sehari-hari.
Di Indonesia, sungai-sungai besar seperti Citarum, Bengawan Solo, dan Brantas telah lama menjadi jalur utama limbah menuju laut. Akibatnya, ekosistem pesisir menjadi korbannya. Terumbu karang tertutup plastik, ikan menelan mikroplastik, hingga biota laut perlahan mulai kehilangan habitatnya.
Pencemaran laut juga tidak hanya berasal dari sampah padat. Limbah kimia dari industri, tumpahan minyak dari kapal, serta pestisida dari pertanian mengalir tanpa henti. Zat beracun seperti merkuri dan timbal menumpuk di tubuh ikan dan kerang, lalu berakhir di meja makan manusia.
Rantai Makanan yang Tercemar
Masalah pencemaran laut juga berpengaruh pada kesehatan sumber daya yang berasal dari laut. Saat mikroplastik dan bahan kimia masuk ke tubuh ikan misalnya, hal ini tentu akan berbahaya bila sampai dikonsumsi oleh manusia.
Penelitian menunjukkan bahwa rata-rata manusia kini dapat menelan hingga lima gram mikroplastik setiap minggu — setara dengan satu kartu kredit. Zat berbahaya ini dapat menyebabkan gangguan hormon, menurunkan kesuburan, bahkan memicu kanker.
Selain itu, nelayan yang menggantungkan hidupnya pada laut kini harus berhadapan dengan hasil tangkapan yang menurun. Perairan tercemar menyebabkan populasi ikan menurun drastis. Dalam jangka panjang, ini bukan hanya menghantam ekonomi masyarakat pesisir, tetapi juga ketahanan pangan nasional.
Selain itu, laut merupakan suatu sistem kehidupan yang rapuh namun saling terhubung. Sekali rusak, butuh waktu puluhan tahun untuk pulih. Terumbu karang yang hancur karena limbah plastik tidak bisa tumbuh kembali dalam semalam. Penyu dan paus yang mati karena menelan sampah bukan sekadar tragedi, melainkan peringatan keras bahwa keseimbangan ekosistem sedang runtuh.
Ketika ekosistem laut terganggu, dampaknya merembet ke darat. Laut yang rusak tidak lagi mampu menyerap karbon dioksida secara optimal, sehingga memperburuk krisis iklim. Ikan yang berkurang berarti sumber protein bagi jutaan orang menipis. Pantai yang tercemar membuat sektor pariwisata merosot. Semuanya saling berkaitan, membentuk rantai krisis yang ujungnya kembali ke manusia.
Tanggung Jawab Bersama
Masalah pencemaran laut tidak akan selesai hanya dengan program bersih-bersih pantai setahun sekali. Ia membutuhkan perubahan sistemik dan kesadaran kolektif. Pemerintah harus memperkuat regulasi pengelolaan limbah industri dan memperluas penerapan ekonomi sirkular dengan bekerja sama dengan dinas terkait https://dlhkabbanjar.org/. Dunia usaha perlu bertanggung jawab terhadap sampah yang dihasilkan produknya, sementara masyarakat harus mulai mengubah pola konsumsi yang boros plastik.
Kita sering menganggap laut sebagai ruang tak berujung yang bisa menampung segalanya. Padahal, laut memiliki batas. Ketika batas itu dilampaui, yang tersisa hanyalah kerusakan.
Menatap Laut Sebagai Cermin Diri
Laut yang kotor sesungguhnya adalah cermin dari perilaku manusia. Ia merefleksikan keserakahan, ketidakpedulian, dan kesalahan cara pandang kita terhadap alam. Jika laut terus dirusak, bukan hanya ikan yang punah, tapi juga peradaban yang bergantung padanya.
Sudah saatnya kita menatap laut bukan sebagai tempat pembuangan, melainkan sebagai rumah bersama yang harus dijaga. Karena di setiap gelombangnya, tersimpan pesan yang sederhana namun mendalam: selamatkan laut, selamatkan hidup kita sendiri. https://dlhkabbanjar.org/

