Jika Cinta Itu Indah, Lantas Mengapa Banyak yang Terluka?

FAISOL.ID – Cinta sering digambarkan sebagai puncak dari segala rasa manusia. Ia menjadi tema abadi dalam sastra, musik, dan seni. Dalam imajinasi kita, cinta adalah sesuatu yang indah, menghangatkan hati, dan membuat hidup lebih berarti.

Namun, kenyataannya cinta juga melahirkan air mata, kekecewaan, bahkan trauma. Maka, pertanyaan itu pun muncul—jika cinta begitu indah, mengapa banyak yang justru terluka?

Robert Sternberg, melalui Triangular Theory of Love, menguraikan bahwa cinta terdiri dari tiga komponen: keintiman (kedekatan emosional), gairah (ketertarikan fisik), dan komitmen (keputusan untuk tetap bersama).

Hubungan yang sehat membutuhkan keseimbangan ketiganya. Namun, banyak hubungan hanya kuat di satu atau dua sisi: ada yang penuh gairah tetapi miskin komitmen, atau ada komitmen yang kokoh tapi minim keintiman. Ketidakseimbangan inilah yang memicu ketidakpuasan dan rasa sakit hati.

Erich Fromm, dalam The Art of Loving, mengingatkan bahwa cinta bukan sekadar perasaan spontan, tetapi sebuah keterampilan yang memerlukan latihan. Menurutnya, banyak orang ingin dicintai, tetapi sedikit yang benar-benar belajar mencintai.

Mereka menganggap cinta hanyalah soal menemukan orang yang tepat, padahal mempertahankan cinta justru membutuhkan kedewasaan, empati, dan disiplin diri. Dari sudut pandang Fromm, banyak luka dalam cinta lahir dari ketidaksiapan emosional untuk memikul tanggung jawab yang datang bersamanya.

BACA  Ini Alasan Kenapa IG Harus Sediakan Fitur Persetujuan untuk Close Friend/CF

Sementara itu, Sigmund Freud melihat cinta melalui lensa psikoanalisis. Bagi Freud, cinta tidak hanya lahir dari dorongan kasih sayang, tetapi juga dipengaruhi oleh dorongan naluriah yang sering kali bersifat bawah sadar.

Pola hubungan masa kecil, hubungan dengan orang tua, dan pengalaman awal membentuk cara kita mencintai di masa dewasa. Inilah mengapa sebagian orang mengulang pola hubungan yang tidak sehat—karena luka lama yang belum sembuh kembali dimainkan dalam panggung cinta yang baru.

Jika kita gabungkan semua perspektif ini, jelas bahwa cinta itu sendiri tidak bersalah. Ia tetap indah—seperti idealisme Plato. Namun, ketika unsur-unsur yang membangunnya tidak seimbang, atau ketika kita belum siap mencintai, bahkan ketika kita terjebak pola bawah sadar yang belum kita sadari, maka luka kemungkinan besar dapat terjadi.

Meski demikian, luka dalam cinta bukanlah akhir dari segalanya. Psikologi positif menunjukkan bahwa rasa sakit bisa menjadi ruang belajar. Ia mengajarkan kita mengenali batas diri, memahami kebutuhan emosional, dan membangun ulang konsep cinta yang lebih sehat. Luka karena cinta memang menyakitkan, tetapi juga memberi ruang bagi diri untuk tumbuh.

Maka, mungkin pertanyaan yang tepat bukanlah “Mengapa cinta melukai?”, tetapi “Bagaimana kita bisa mencintai tanpa melukai—diri sendiri maupun orang lain?”. Jawabannya mungkin ada pada kesadaran masing-masing, bahwa cinta bukanlah sekadar perasaan yang indah, melainkan juga sebuah seni, keseimbangan, dan proses penyembuhan.

Dan jika kita mampu menjalani cinta dengan kesadaran itu, badai mungkin tetap datang, tapi pelangi di ujungnya akan terasa jauh lebih indah daripada yang pernah kita bayangkan.

Bagaimana menurut kalian? Benarkah banyak yang terluka karena cinta?

By Faisol Abrori

Tertarik menulis beragam hal seperti bisnis, teknik marketing, dan lain sebagainya. Untuk keperluan kerja sama, kirim email ke: faisolabrori5@gmail.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *