FAISOL.ID – “Suara rakyat adalah suara Tuhan.” Kalimat ini sering kita dengar, terutama saat musim pemilu atau ketika massa turun ke jalan menuntut perubahan. Ia terdengar sakral, seolah rakyat adalah representasi kebenaran itu sendiri. Namun, benarkah begitu? Apakah setiap teriakan mayoritas bisa kita samakan dengan suara ilahi?
Sejarah mencatat, ungkapan Vox Populi Vox Dei pertama kali ditulis oleh Alcuin, seorang penasehat Kaisar Charlemagne, pada abad ke-8. Menariknya, ia justru menggunakannya sebagai peringatan: jangan mudah percaya pada suara kerumunan, sebab massa sering kali terbawa emosi dan bukan rasionalitas.
Dalam perjalanan waktu, kalimat itu berubah makna, digunakan untuk menegaskan legitimasi rakyat terhadap kekuasaan. Sejak itulah ia melekat dalam perbincangan demokrasi.
Di era modern, ungkapan ini menjadi slogan yang seakan memberi mandat langsung kepada rakyat untuk menentukan arah bangsa. Demokrasi kita pun berdiri di atasnya: satu suara dihitung sama nilainya, siapa yang mayoritas, dialah yang berkuasa.
Akan tetapi, realitas sosial-politik menunjukkan bahwa suara rakyat tidak selalu murni lahir dari kesadaran penuh. Ada opini yang digiring oleh media, ada kampanye yang lebih kuat karena modal, ada pula propaganda yang membius hingga akal sehat sulit bekerja. Apakah itu masih bisa kita sebut sebagai vox Dei?
Fenomena media sosial mempertegas dilema ini. Dalam hitungan menit, sebuah isu bisa viral dan menjadi “suara rakyat” meski tanpa verifikasi yang matang. Tagar trending di Twitter sering dijadikan barometer aspirasi publik, seakan representatif terhadap seluruh masyarakat.
Padahal, bisa jadi ia hanya gema dari segelintir kelompok yang bersuara lebih lantang. Contoh nyata pernah kita lihat ketika sebuah polling digital dianggap cukup untuk menentukan kebijakan, meski metodologinya rapuh. Suara terbanyak belum tentu suara yang bijak.
Namun, menolak mentah-mentah ungkapan itu juga tidak adil. Ada saatnya suara rakyat memang berperan sebagai cahaya penuntun. Sejarah reformasi 1998 misalnya, ketika rakyat bersatu menyuarakan keadilan, keberanian itu menjadi energi perubahan yang nyata.
Dalam momen-momen tertentu, suara rakyat benar-benar menghadirkan keadilan yang lebih dekat pada makna vox Dei.
Di sinilah pentingnya keseimbangan. Demokrasi tidak boleh hanya menjadi arena adu kuat suara, tetapi juga ruang untuk mendengar dengan kritis. Suara rakyat tetap harus dihormati, tapi juga ditimbang dengan nurani, ilmu pengetahuan, dan kebijaksanaan.
Pemimpin yang bijak bukan hanya yang mengikuti teriakan massa, melainkan yang mampu menyaring suara itu, membedakan mana tuntutan yang lahir dari kebenaran, dan mana yang sekadar gema sesaat.
Pada akhirnya, Vox Populi Vox Dei bukanlah kebenaran absolut, melainkan sebuah pengingat. Ia mengajarkan bahwa rakyat punya kekuatan besar, namun kekuatan itu bisa menjadi anugerah sekaligus ancaman.
Tugas kita sebagai warga negara adalah menjaga agar suara itu tetap jernih, tidak dikaburkan oleh kepentingan sempit. Sebab, hanya dengan cara itulah suara rakyat bisa benar-benar mendekati suara Tuhan.