Review Alpha (2025) Film Body Horror Bikin Merinding, Layak Ditonton?

Setelah sebelumnya dikenal lewat Titane (2021) yang mengguncang Cannes dengan pendekatan body horror ekstrem dan metafora psikologis yang tidak nyaman, Ducournau kali ini berfokus pada film terkait relasi ibu dan anak, dengan tubuh sebagai medan utama ketakutan, kecemasan, dan konflik batin.

Sinopsis Film Alpha (2025)

Film ini menceritakan seorang anak berusia 13 Tahun bernama Alpha, yang tinggal berdua bersama ibunya, seorang single mother. Sejak awal, Alpha digambarkan sebagai anak bermasalah—agresif, sulit diatur, dan kerap terlibat persoalan di sekolah maupun lingkungan sekitar.

Masalah kemudian muncul ketika Alpha menato lengannya dengan jarum yang tidak diketahui asal usul pengguna sebelumnya, membuat sang ibu cemas akan virus baru dan berbahaya yang mengubah penderitanya menjadi ‘marmer’ yang mungkin saja telah menginfeksi anaknya.

Ketegangan meningkat ketika paman Alpha, Amin, tinggal bersama mereka dalam kondisi sudah terinfeksi virus tersebut. Film ini berfokus pada hubungan ibu-anak yang retak di tengah ketakutan akan penyakit mematikan.

Penyakit ‘Marmer’ yang Aneh dan Disturbing

Hal yang paling menonjol dari film ini adalah kemunculan ‘wabah’ mematikan yang membuat tubuh seseorang menjadi batu marmer secara perlahan. Penyakit ini digambarkan dapat menular melalui suntikan dan hubungan seksual layaknya penyakit HIV/AIDS.

Tak heran, sebagian kritikus berpendapat bahwa film ini merupakan alegori metafora dari penyakit AIDS itu sendiri, dimana Ducournau berusaha membawa penonton ke dalam konflik batin yang begitu kompleks dalam sudut pandang penderitanya.

BACA  5 Alasan Film Jumbo Layak Dinobatkan sebagai Film Indonesia Terbaik Sepanjang Masa

Gejolak Batin yang Dikemas Secara Epik

Pergulatan batin Amin, yang berkali-kali mengatakan untuk ‘tidak ingin dibangunkan’, menyiratkan makna yang begitu dalam tentang keputusasaan dan kehampaan ketika terkena wabah ini. Hal lainnya dirasakan Alpha, dimana ia merasakan apa yang disebut ‘kekacauan’. Hatinya terus-menerus merasa bersalah atas segala tindakan impulsif yang justru semakin memperkeruh keadaan.

Konflik paling pelik dirasakan oleh Ibunya, dimana sebagai seorang dokter, ia merasa memiliki kewajiban untuk terus mengobati adiknya, Amin dan juga Alpha, anaknya. Hal ini menciptakan nuansa mencekam secara psikis yang dibawa sepanjang film.

Dinilai Terlalu ‘Melankolis’

Meski secara umum film ini menampilkan visualisasi yang luar biasa mengerikan, namun film ini dianggap sangat ‘melodramatis’ dimana terdapat beberapa adegan yang sangat membosankan. Jujur, sebagai penonton, saya merasa dipaksa untuk ikut menanggung kebingungan Alpha, yang padahal konfliknya sederhana dan tidak perlu durasi selama itu.

Alur Cerita Kacau

Selain itu, kekurangan film ini terletak di alur ceritanya, dimana terdapat beberapa scene yang membuat penonton bingung dan bertanya-tanya. Dan ini yang membuat film ini masih kurang kuat perihal penyusunan naskahnya.

Jadi Gimana, Layak Tonton Kah?

8/10. Menurut saya pribadi, sebagai penikmat genre body horror, film ini layak untuk diberi applause. Karena dari sisi penokohannya dan grafisnya, tidak perlu diragukan lagi.

Apalagi, pemeran tokoh Alpha (Mélissa Boros) yang notabene-nya ‘pendatang baru’, mampu mengguncang Cannes 2025 dengan aktingnya. Meski belum kuat secara alur dan terlalu bertele-tele, namun saya merasa film ini layak tonton bagi penggemar genre body horror.

(Red/isol)

By Faisol Abrori

Tertarik menulis beragam hal seperti bisnis, teknik marketing, dan lain sebagainya. Untuk keperluan kerja sama, kirim email ke: faisolabrori5@gmail.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *